SELAMAT DATANG

Terima Kasih dan Selamat Datang di Bung Joss.

Ini adalah media pembelajar. Anda bisa belajar dan sekaligus anda juga bisa mengajar.

Itulah esensi sebuah semangat berbagi yang coba saya kembangkan di blog ini.

Akhirnya, semoga blog ini berarti bagi anda dan saya. Terima kasih.

Salam Joss....

12 Juni, 2013

SEKILAS DEPRESI

Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan pada banyak tantangan, hambatan ataupun kesulitan hidup. Tidak jarang, situasi hidup yang demikian lalu menyebabkan kita mengalami sebuah jenis gangguan mood yang disebut dengan depresi. Dalam Kamus Psikologi J.P. Chaplin, depresi pada orang normal merupakan keadaan kemurungan (kesedihan, kepatahan semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak pas, menurunnya kegiatan, dan pesimisme dalam menghadapi masa yang akan datang. Sementara pada kasus patologis, merupakan ketidakmauan ekstrim untuk mereaksi terhadap perangsang, disertai menurunnya nialai-nilai diri, delusi ketidakpasan, tidak mampu dan putus asa.

Jenis Depresi
Depresi merupakan salah satu jenis Gangguan Mood. Mood sendiri merupakan kondisi perasaan yang terus ada yang mewarnai kehidupan psikologis kita. Gangguan-gangguan depresi, termasuk unipolar, artinya terjadi hanya pada satu arah atau kutub emosional ke bawah. Gangguan-gangguan depresi, antara lain :
  1. Depresi Mayor :
Depresi yang terjadinya satu atau lebih periode tanpa episode manik (maniak) atau hipomanik (maniak yang lebih ringan) alami. Ini adalah jenis depresi yang berat. Menurut para ahli, umumnya orang yang pernah mengalami depresi mayor dapat kambuh lagi

2.  Gangguan distimik :
Merupakan depresi ringan, dan terjadi dalam suatu rentang waktu. Pada orang dewasa, biasanya dalam beberapa tahun, pada anak-anak dan remaja dapat berupa mood yang menyulitkan mereka.

Ciri-Ciri Depresi
Orang yang mengalami depresi, biasanya memiliki ciri-ciri yang bisa diamati. Secara emosional, mereka terlihat sedih, muram bahkan menangis, mudah tersinggung, gelisah dan tidak sabar. Dari sisi motivasi, mereka kurang bahkan tidak memiliki, terutama untuk memulai kegiatan dipagi hari, sulit bangun pagi, rendahnya minat pada kegiatan sosial, menurunnya minat pada seks dan seringkali gagal memberi respon. Dari sisi motorik, mereka terlihat bergerak atau berbicara lebih perlahan daripada biasanya, makan terlalu banyak atau terlalu sedikit, kurang aktif dalam fungsinya ditempat kerja atau sekolah. Secara kognitif, mereka sulit konsentrasi dan berpikir jernih, bahkan mereka berpikir secara negatif tentang diri sendiri, adanya perasaan bersalah akan kesalahan dimasa lalu, rendahnya self esteem bahkan lebih parahnya, kadang-kadang mereka berpikir tentang kematian atau bunuh diri.

Biasanya wanita memiliki potensi mengalami depresi lebih besar daripada pria, khususnya depresi mayor. Hal ini terjadi barangkali karena pria lebih cenderung mengalihkan pikiran mereka saat mereka depresi atau lebih mudah mencari penyaluran, sedang wanita lebih cenderung merenungkan perasaan mereka dan dan mencari kemungkinan penyebabnya.



Penyebab Depresi
Ada beberapa teori yang menguraikan bagaimana terjadi depresi atau apa sesungguhnya penyebab depresi, antara lain :

Teori Psikodinamika
Depresi terjadi karena perasaan duka yang mendalam akibat kehilangan orang yang dikasihi.

Teori Humanistik
Depresi terjadi karena seseorang tidak bisa mengaktualisasikan diri atau tidak dapat menemukan makna hidup.

Teori Belajar
Depresi terjadi karena ketidakseimbangan antara output  perilaku dan input reinforcement (penguatan perilaku) yang berasal dari lingkungan.

Teori Kognitif
Depresi terjadi karena ada pandangan negatif terhadap diri sendiri, lingkungan atau dunia secara luas dan masa depan.

Penanganan Depresi
  1. Pendekatan Psikodinamika : Psikoterapi Interpersonal.
  2. Pendekatan Behavioristik : Modifikasi Perilaku, Coping With Depression (CWD) Course.
  3. Pendekatan Kognitif : Terapi Kognitif
  4. Pendekatan Biologis : Obat-obatan Antidepresan, Terapi Elektrokonvulsif (ECT).
Model penanganan lainnya yang saat ini sedang berkembang adalah dengan teknik-teknik relaksasi, hipnoterapi, NLP (Neuro Linguistic Programming) dan EFT (Emotional Freedom Tecnique).

Sebagai penutup catatan singkat tentang depresi ini, ingin kami katakan bahwa jikalau kita sepakat bahwa depresi itu merupakan sebuah masalah, maka ingatlah bahwa sesungguhnya sesuatu yang kita anggap sebagai masalah, apapun itu, seringkali datangnya dari diri sendiri, tidak jarang kita sendirilah penyebabnya. Bukan dari orang lain, juga bukan dari lingkungan, tetapi oleh karena kegagalan kita dalam memberikan pemaknaan yang positif atas setiap situasi dan peristiwa hidup kita. Karena sejatinya dalam setiap situasi maupun peristiwa hidup, selalu ada sisi positif yang bisa kita lihat, kita rasakan dan kita dengarkan. Salam Joss…..(Yoseph Tien, dari berbagai sumber pembelajaran)

GOSIP DAN BAWAH SADAR

Adalah hal yang sangat memprihatinkan ketika pada zaman ini, “gosip” semakin menjadi suatu yang biasa dan akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Banyak sekali gosip terpublikasi begitu saja diberbagai media massa. Bahkan banyak stasiun televisi yang memiliki program khusus menjual gosip dengan berbagai kemasan yang menarik. Lalu kita pun semakin akrab dengan gosip atau bahkan ikut-ikutan menjadi penyebar gosip atau bahkan lebih parah lagi kalau ada diantara kita yang menjadi biang gosip alias sumber dari gosip itu sendiri. Padahal seringkali kita tahu dan sadar bahwa yang namanya gosip pasti jauh dari fakta alias bertolak belakang dengan kebenaran.

Dalam kehidupan ini, memang ada banyak alasan orang untuk menggosipkan sesuatu atau seseorang dan kalau boleh diuraikan secara sederhana, barangkali alasan-alasan tersebut antara lain :
  1. Karena sudah merupakan sifat dasar seseorang;
  2. Sekedar ikut-ikutan;
  3. Balas dendam karena disakiti atau dikecewakan;
  4. Sebagai strategi menjatuhkan orang yang dianggapnya sebagai lawan;
  5. Sebagai strategi mengalihkan perhatian dari masalah pokok;
  6. Sebagai strategi untuk meraih keuntungan materi;
  7. Karena tidak tahu apa-apa.
Jikalau kita sering menggosipkan seseorang entah itu tetangga, teman bermain, teman kerja, kelompok tertentu atau siapapun itu, cobalah kita bertanya, bukan pada rumput yang bergoyang tetapi pada diri sendiri, sesungguhnya dengan alasan apakah hal itu kita lakukan? Sesungguhnya, apapun alasan kita gosip bukanlah sesuatu yang baik. Betapa tidak, gosip seringkali merusak tatanan keharmonisan kehidupan kita, termasuk merusak mindset kita sendiri, yang sadar atau tidak secara perlahan merusak diri kita sendiri. Maka jauhkan diri kita dari kebiasaan menggosip dan hindari situasi atau orang-orang yang suka bergosip. Barangkali kita juga mesti belajar bagaimana menghentikan gosip itu hanya sampai pada diri kita, dengan mencermati kisah dari Christopher Notes berikut :

Suatu hari, seseorang mendekati Sokrates yang bijaksana itu. Ia berbisik,
“Sokrates, dengarkan gosip tentang sahabatmu ini.”
“Tunggu!” Sokrates menjawab dengan cepat, “Sudahkah cerita itu melewati tiga saringan?”
“Apa tiga saringan itu?”
“Ya sobat, tiga saringan. Sekarang coba kita lihat apakah sesuatu yang mau kau beritahukan kepada saya itu bisa melewatinya. Saringan yang pertama adalah ‘kebenaran’.
Apakah kamu yakin bahwa apa yang hendak kau katakan itu merupakan kebenaran?
“Begini” kata orang itu terbata-bata, “Sebenarnya saya mendengarnya dari orang kedua”
“Hmmm”, jawab Sokrates yang bijaksana itu. “Sekarang, kita teruskan, apakah ia bisa lolos saringan yang kedua. Apakah sesuatu yang hendak kau katakan itu ‘baik’?”
“Tidak”, kata orang itu, “Ini justru kebalikannya.”
“Jadi, hati-hatilah dengan itu. Sekarang beritahu saya :
“Apakah itu ‘perlu’ dan ‘penting’ sekali?”
“Tidak”
“Kalau apa yang ingin kau beritahukan kepada saya itu tidak benar, tidak baik dan tidak penting, maka biarkan saja berlalu.”

Teman-teman, hati-hatilah dengan gosip. Betapa tidak, sekali kita mencoba untuk menggosip biasanya ada potensi atau kecenderungan untuk berulang. Dan ketika kita mengulanginya lagi pada kesempatan kedua dan seterusnya (repetisi), maka kita tidak saja menebar virus negatif secara eksternal ke lingkungan kita, tetapi kita juga secara internal sedang membentuk diri kita menjadi biang gosip. Teman-teman pasti sudah tahu, bagaimana orang-orang disekeliling kita akan bersikap terhadap seorang biang gosip. Selanjutnya, disamping dapat belajar dari cerita diatas, coba gunakan juga filter berikut ketika kita sedang mendengar sebuah gosip : apakah gosip itu membahayakan/merusak diri kita secara fisik-psikis, apakah gosip itu masuk akal atau tidak, dan apakah gosip itu bertentangan dengan norma agama/sosial atau moralitas. Yang paling sederhana, hindari orang yang suka gosip, hindari tempat atau suasana penuh gosip, jauhkan diri dari tontonan dan bacaan yang isinya cuma gosip semata, karena semuanya berpotensi mengisi pikiran bawah sadar kita dengan ‘virus-virus berbahaya’. Akhirnya, selamat ‘menggosipkan’ catatan ini, semoga bermanfaat. Salam Joss… (Yoseph Tien)

BAGAIMANA MENGAMBIL KEPUTUSAN SECARA CERDAS

Seorang filsuf besar, Albert Camus, pernah mengatakan bahwa “segala sesuatu di dunia ini bersifat pilihan”. 


Setiap waktu dalam hidup, kita banyak dihadapkan dengan berbagai pilihan. Dalam pengalaman saya, keindahan perjalanan hidup juga setidaknya ditentukan dari proses pengolahan diri dalam menentukan setiap pilihan.
Minggu – minggu terakhir ini, setiap orangtua yang memiliki anak sekolah yang duduk di kelas akhir dari berbagai jenjang (SD, SMP dan SMA/SMK), mulai sibuk, repot dan harap-harap cemas dengan hasil UN anaknya. Dan sore hari ini (08/06) pukul 15.00 WIB, saya juga harus menghadiri undangan pengumuman kelulusan UN SD dari putri sulung saya, Joice. Para orangtua yang anaknya tamat SD, SMP ataupun SMA/SMK, tidak sedikit barangkali yang sudah sibuk kesana-kemari, kasak-kusuk bertanya tentang sekolah atau program studi atau jurusan apa yang akan dipilih oleh sang anak atau dipilihkan oleh orangtuanya sendiri. Di situasi ini, mungkin ada juga orangtua yang mungkin santai saja, tenang saja, biasa saja karena berbagai sebab, tidak tahu, tidak mau tahu, atau tidak tahu kalau tidak tahu. Apapun sikap atau pilihan yang diperankan para orangtua, tentu saja itu berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam dirinya.


Harian Kompas, hari ini pada kolom karier-nya mengangkat tema Keputusan Bijaksana. Pada bagian terakhir dari tulisan itu, dikemukakan konsep “Situation Awareness” atau kesadaran atas situasi yang kita hadapi, dapat menjadi landasan bagi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Situation awareness terdiri atas tiga tahap. Pertama adalah persepsi terhadap lingkungan untuk dicerna dan disimpan dalam ingatan. Kedua, menerjemahkan situasi dengan memberi arti dan sense pada hal-hal yang terlihat tersebut dengan kemampuan analisis yang tajam.  Ketiga, melakukan proyeksi pada hal-hal yang terjadi di masa mendatang sehingga kita bisa me’radar’ masa depan dengan penglihatan yang jelas. Kata kuncinya adalah kesadaran. Setiap keputusan diambil berdasarkan kesadaran kita pada situasi, berawal dari rekaman persepsi kita pada sebuah situasi atau lingkungan yang mengandung makna tertentu kemudian berdasarkan makna itu kita menggambarkan situasi masa depan yang mungkin terjadi. Sebuah konsep pengambilan keputusan yang bergerak dari kekinian persepsi dan makna pada suatu situasi yang sedang dihadapi.


Transformasi Berpikir
Berbicara tentang pengambilan keputusan, Bill Gould dalam bukunya “Transformational Thingking” menjelaskan tentang bagaimana sebuah keputusan dibuat, dengan menggunakan metafora yang menarik sekali. Sebuah keputusan adalah seperti sebuah kerikil yang kita lempar ke sebuah kolam yang tenang. Riak yang bergerak dari tengah dan merambat 360ยบ adalah efek keputusan kita. Saat mengalir ke arah luar, riak-riak itu menyentuh apa pun yang ada dijalannya. Riak-riak dari keputusan itu mempengaruhi siapapun disekitar kita secara langsung atau tidak langsung. Pertanyaan yang muncul, apa yang terjadi saat riak-riak itu menyentuh objek-objek atau bagian yang jauh? Riak-riak itu langsung berbalik arah dan kembali ke sumbernya. Inilah bagian yang biasanya kita lupakan, sementara di sisi lain kita tahu dan selalu percaya bahwa ‘kita selalu menuai apa yang kita tabur’ atau ‘kita selalu menerima apa yang telah kita beri’. Oleh karenanya, Gould lalu menawarkan 3 langkah pengambilan keputusan sebagai berikut :
  1. Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari sebanyak mungkin sumber yang bisa kita lakukan, lalu
  2. Mempertimbangkan informasi itu tanpa penilaian dan emosi, serta
  3. Akhirnya membuat keputusan berdasarkan informasi itu.
Dengan 3 langkah ini, Gould menegaskan bahwa kita jauh lebih mungkin membuat keputusan yang lebih baik dan dengan itu meningkatkan realitas kita serta orang-orang disekitar kita. Betapa tidak, dalam situasi sekarang kita cenderung mengambil keputusan secara tradisional, dengan selalu membuang sebagian besar waktu, energy dan usaha kita untuk menjustifikasi, membela, atau mengembangkan kesimpulan yang kita dapatkan, jarang mempertimbangkan hal lain kecuali seseorang menaikkan tanda pengumuman atau memukul kepala kita untuk mendapatkan perhatian. Kita sering sekali membuat keputusan mengenai bagaimana kita menghadapi keputusan pada akibat pertama, atau momen ketika kejadian itu pertama kali terjadi. Akibatnya adalah begitu kita telah menentukan pendapat kita terhadap sesuatu, akan kecil kemungkinan bagi kita untuk mengubahnya dan mungkin kita kan berusaha membelanya mati-matian daripada mengadaptasi pendekatan kita menurut bukti baru apapun yang dihadapkan pada kita.


Pesan penting Gould tentang ini adalah, bahwa ketika kita menerima menghadapi sebuah situasi, maka kita harus bekerja keras untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber tentang situasi tersebut, menganalisisnya dengan tidak melibatkan emosi dan perasaan kita, barulah kita mengambil apapun keputusan yang tepat sesuai dengan situasi itu. Waktu yang cukup saat kita menggali informasi barangkali dapat meredam emosi kita terhadap situasi yang kita alami, juga tentu dapat memberi kita pilihan berbeda dari yang pernah terpikirkan.


Dengan konsep Gould ini, pengambilan keputusan melanjutkan sekolah ke sekolah mana misalnya, dapat kita peta-kan sebagai berikut :


Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari sebanyak mungkin sumber yang bisa kita lakukan.
Orangtua dan atau anak harus mencari informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber tentang sekolah yang mau ditujuh. Mungkin orangtua punya beberapa alternatif. Dari beberapa alternatif sekolah tujuan inilah, digali informasi-informasi dari berbagai sumber. Sumber primernya adalah langsung ke sekolah sasaran dan mencari informasi dari pihak sekolah tersebut. Sumber sekundernya dapat diperoleh dari orangtua yang anaknya sedang atau pernah bersekolah di sekolah alternatif tadi. Informasi tersebut antara lain meliputi : status sekolah (kalau swasta), kompetensi guru, biaya sekolah dan biaya-biaya lain, jumlah siswa maksimal per kelas, fasilitas, kegiatan ekstrakurikuler, keunggulan-keunggulan sekolah, dan sebagainya.


Mempertimbangkan informasi itu tanpa penilaian dan emosi.
Setelah berbagai informasi dari berbagai sumber kita peroleh, maka semua informasi tersebut disusun dalam kaidah atau pola tertentu, dapat dibuat dalam sebuah tabel, hal mana kita dari sana kita dapat membaca kelebihan dan kelemahan masing-masing sekolah tersebut. Dalam menyusun dan menganalis data tersebut, hindari penilaian-penilaian subjektif dan. tidak menyertakan emosi. Artinya data-data tersebut dianalisis secara objektif, berdasarkan apa adanya data tersebut terbaca.


Akhirnya membuat keputusan berdasarkan informasi itu.
Setelah data dianalisis, ditimbang-timbang, lalu ambil keputusan berdasarkan kesimpulan dari analisis kita.
Sepintas lalu, mungkin terlalu ribet, repot atau rumit. Tetapi tentunya tidak salah bila kita mulai mencoba melakukan ini. Mungkin ada yang beranggapan bahwa memilih sekolah bagi sang anak adalah hal yang kecil, tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Tetapi percayalah kawan, ketika kita terbiasa mengambil keputusan secara cerdas dengan terlebih dahulu mengumpulkan data dan menganalisa data dan informasi terkaita dengan sebuah keputusan, maka pada masa-masa mendatang kehidupan dan cara berpikir kita akan mengalami transformasi dan berujung pada kemudahan yang kita temukan kala menghadapi sebuah situasi pengambilan keputusan sebesar apapun konteksnya.


Diplomasi Diam atau Nol Respon
Dalam konteks lain pada kehidupan kita, tidak jarang sebuah situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan kadang dilalui tanpa keputusan apa-apa, yang justru bagi saya dalam arti tertentu, situasi tanpa keputusan itu adalah juga sebuah keputusan. Jumat kemarin saya berdiskusi secara online dengan seorang sahabat di negeri Kanguru. Tema diskusi kami adalah “diplomasi diam”, demikian istilah kawan saya. Diplomasi diam disini lebih dimaknai sebagai sebuah situasi tanpa respon atau dalam konsep yang pernah saya tawarkan kepada “sepasang suami istri bermasalah” dengan istilah “nol respon”.  Gambarannya begini, kadang-kadang kita memerlukan “diplomasi diam” atau “nol respon” terhadap stimulus tertentu yang datang dalam kehidupan kita di suatu masa. Pada contoh saya, adalah sepasang suami istri yang menghadapi krisis rumah tangga yang sudah parah. Berbagai jalan sudah ditempuh, berbagai pihak sudah dilibatkan – langsung, maupun tidak langsung, tetapi tetap saja “mereka bermasalah”. Bertahun-tahun mereka hidup dalam perdebatan-pertengkaran-peperangan bahkan beberapa kali hendak melakukan upaya perceraian. Setiap masukan atau konklusi dari saya, hanya di-iya-kan di depan saya, tetapi tidak pernah dipraktekkan atau kalaupun dipraktekkan hanya dengan setengah hati. Situasi ini berlangsung cukup lama, beberapa tahun malah. Sebagai manusia, saya juga sudah lelah menghadapi mereka dan mereka juga sudah lelah bertengkar secara fisik walau semangat bertengkarnya tetap ada kelihatannya. Pokoknya pantang dipancing sikitlah, kata orang Medan. Bila satu pihak melakukan satu hal kecil saja yang tidak sesuai dengan kehendak pihak yang lain, maka pihak yang lain tersebut akan melahirkan respon yang sangat agresif bahkan cenderung destruktif. Dalam situasi inilah, akhirnya saya menawarkan gencatan senjata dengan konsep ‘nol respon’. Siapa melakukan apapun, dimanapun dan dengan siapapun, pihak yang lain tidak boleh memberi respon sekecil apapun. Agak ekstrim memang konklusi ini. Tapi barangkali cocok dengan orang-orang yang memiliki mindset dan perilaku ekstrim seperti mereka. Bagi saya, ‘diplomasi diam’ atau ‘nol respon’ juga merupakan sebuah cara mengambil keputusan.


Pada kasus yang lain, adalah seorang kawan yang selalu memainkan “diplomasi diam”.  Separah apapun situasi yang dialami oleh lembaga yang pimpinnya, saat para anak buah sudah menjerit-jerit, mungkin ada yang mulai menangis sebab barangkali alamatlah kapal akan tenggelam, dia di singgasananya sana tetap aja slow, tenang dan diam atau mungkin senyam-senyum. Diplomasi diam cenderung dilakoni orang-orang dengan tipe kinestetik, orang-orang perasa. Diplomasi diam pada situasi tertentu mungkin efektif, perlu renungan dan refleksi mendalam untuk sebuah langkah atau keputusan, akan tetapi pada situasi dimana anak buah butuh bimbingan, arahan dan penegasan, diplomasi diam justru membahayakan organisasi, seperti yang akhirnya di alami kawan saya tersebut.


Neurosains dan Pengambilan Keputusan.
Dr. Taufik Pasiak dalam bukunya, “Tuhan Dalam Otak Manusia” mengatakan bahwa kemampuan mengambil keputusan merupakan fungsi penting otak manusia didasarkan pada studi pada orang-orang yang mengalami cedera otak di daerah cortex prefrontalis ventromedialis (CPFVM). Bagian otak yang terletak persis dibelakang hidung ini diketahui berperan penting dalam pengambilan keputusan. Bagian ini mengelola hal-hal yang bisa terjadi pada masa mendatang, meskipun belum pasti, serta hubungan diantara semua hal tersebut dan memilah-milah informasi yang banyak untuk ditandai sebagai hal yang membutuhkan perhatian. Mereka yang cedera CPFVM merupakan orang-orang yang rasional. Mereka bisa pintar dan sangat terampil, tetapi tidak cerdas membuat keputusan. Lebih lanjut Pasiak mengatakan, bahwa mengambil keputusan memiliki dasar evolusi yang kuat. Manusia memiliki ‘komputer’ bawah sadar yang dapat mengarahkannya untuk dapat mengambil keputusan secara cepat. Intuisi ataupun suara hati, menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan yang cepat. Misalnya ketika kita berada ditengah jalan, dan melihat sebuah mobil melaju cepat ke arah kita, maka kita tidak membutuhkan alur pikir analitis untuk menilai apakah mobil tersebut akan tepat menabrak kita, apakah mungkin kita dapat menghindar, atau apakah kecepatan mobil tersebut dapat menghancurkan atau sekedar melecetkan tubuh kita. Jika menghadapi situasi ini dan otak kita berpikir secara analitis, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi. Menghadapi situasi dimana kita harus mengambil sebuah keputusan, otak menyediakan komponen fungsional yang oleh Malcom Gladwell disebut adaptive unconscious. Komponen fungsional ini membimbing kita untuk mengambil keputusan secara cepat yang membuat kita terhindar dari bahaya. Dalam adaptive unconscious ini tersimpan pengalaman masa lalu kita, yang berhubungan dengan sebuah stimulus tertentu, misalnya mobil yang melaju kencang tadi. Pengambilan keputusan adalah fungsi eksekutif dari otak yang terbilang canggih pada manusia dan menjadi unggulan manusia dibandingkan dengan segenap makhluk lainnya.


Dari uraian diatas, maka tatkala langkah transformatif-nya Gould kita baca dalam kaca mata neurosains, akan terlihat menjadi lebih pas. Sederhananya kira-kira begiini. Saat kita mengumpulkan berbagai informasi, mengolah dan menganalisanya, maka secara faal proses yang terjadi adalah kita mengirim informasi-informasi tersebut ke otak, yang akan melalui bermiliaran neuron (sel khusus otak) yang terkoneksi satu sama lain, ketika kita butuh sebuah keputusan, informasi tersebut kemudian masuk pada area tertentu di otak, CPFVM, lalu berakumulasi dengan berbagai informasi terkait lainnya yang sudah ada disana terlebih dahulu, kemudian lahirlah sebuah keputusan. Proses pengambilan keputusan tidak saja sebuah proses yang secara visual bisa kita amati dalam sebuah tindakan (konatif) tetapi terlebih dahulu diawali dengan sebuah proses kognitif di otak kita. Dalam arti tertentu, bisa dikatakan bahwa ketika kita membiasakan diri melakukan pengambilan keputusan dengan melibatkan aspek kognitif kita, misalnya dengan menerapkan konsep Gould, maka sebenarnya kita juga sedang membiasakan otak kita untuk bekerja, kita juga sedang mengaktifkan koneksitas jaringan-jaringan otak yang kemudian dapat membentuk synaps (jaringan yang terbentuk antar neuron setiap sebuah informasi lewat) baru, yang menurut para ahli neurologi memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja otak!


Epilog
Sahabat, kayaknya catatan ini sudah mulai panjang dan sebelum menjadi kepanjangan, saya hanya mau berpesan, dalam situasi apapun yang kita hadapi dimana kita harus mengambil sebuah keputusan, ambillah keputusan itu secara cerdas. Ada banyak cara cerdas mengambil keputusan, tetapi kebetulan disini saya hanya menawarkan konsep Gould, yang sebenarnya sangat sederhana atau mungkin sering kita lakukan secara tidak sadar atau tanpa tahu konsepnya secara optimal, yang juga selaras atau beda-beda tipis dengan konsep”Situation Awareness” atau konsep kesadaran atas situasi yang kita hadapi, yang dapat menjadi landasan bagi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Atau bisa juga menggunakan konsep "Diplomasi Diam" atau "Nol Respon". Lepas dari semua itu, yang penting diingat, adalah baik sekali bila sebuah keputusan diambil berdasarkan proses kognitif sebagaimana uraian diatas, bukan karena hasutan, rayuan, bujukan, bisikan atau pun intrik-intrik tertentu dengan kepentingan-kepentingan terselubung. Akhirnya, selamat mengambil keputusan dalam hidupmu! Semoga catatan kecil ini bermanfaat. Salam Joss…

ADA APA DENGAN KELUARGA KITA

Sepekan terakhir ini, sungguh menjadi pekan refleksi bagi saya. Satu hal yang menarik, tema refleksinya adalah ‘Keluarga”.


Hari Sabtu yang lalu (25/05), datanglah mertua ke rumah saya, membawa seekor ikan mas yang telah dimasak (diarsik), yang ditata diatas nasi dalam sebuah nampan, lalu menyerahkan kepada kami (anak-menantu dan cucu-cucunya), dan kamipun menikmatinya. Singkat cerita, terjadilah acara makan bersama segenap keluarga. Dalam tradisi Batak, pemberian ikan mas dari pihak orangtua istri ini disebut boan-boan hula-hula (bawaan dari keluarga pihak istri). Pada saat menyerahkan boan-boan ini, mertua saya mengatakan bahwa ini adalah dengke sitio-tio (ikan yang jernihdan dengke simudurudur (ikan yang beriring-iringan berenang-renang hilir mudik). Tujuan pemberian nama ikan yang jernih adalah mendoakan kepada Tuhan agar segala hal yang berhubungan dengan pihak boru-nya (anak perempuannya beserta suami dan anak-anaknya) tetaplah jernih seperti air. Sementara tujuan pemberian nama ikan yang berenang beriring-iringan adalah agar dengan bantuan Tuhan pihak boru-nya tetap seia sekata sehati dalam segala hal, pekerjaan dan usaha menuju kebahagiaan dan kemakmuran.  Bagi saya yang kebetulan bukan orang Batak, boan-boan hula-hula ini sungguh sarat akan makna cinta dan penuh dengan doa restu, yang patut saya syukuri karena saya bisa menerimanya. Sebuah tradisi eksotik dan fantastik yang wajib dilestarikan, dalam hidup keluarga masa kini dengan berbagai dinamikanya. Sudahkah kita memperhatikan dan melestarikannya? Kitalah yang tahu!
Kemarin, seharian saya belajar "Brief Family Therapy" bersama Dr. Adriana Ginanjar, M.Sc, Psikolog dari Universitas Indonesia. Dalam lapangan psikologi, Terapi Keluarga mulai berkembang pada tahun 1950, bermula dari sebuah penelitian terhadap pasien skizofrenia, yang menyimpulkan bahwa keluarga dapat menjadi penyebab munculnya simtom-simtom skizofrenia dan dinamika patologis lebih banyak disebabkan oleh karena interaksi dalam keluarga, bukan karena karakteristik individu. Beberapa konsep penting dari Terapi Keluarga yang perlu mendapat perhatian dapat saya kemukakan antara lain, 1)munculnya masalah berkaitan dengan interaksi dalam keluarga dan lingkungan sosial, bukan disebabkan oleh satu orang tertentu, 2)rangkaian interaksi yang tidak tepat dapat memperburuk masalah yang ada, 3)anggota keluarga cenderung menggunakan komunikasi tidak langsung  dan menunda umpan balik, 4) pada dasarnya manusia memiliki kompetensi tetapi terhambat oleh interaksi keluarga yang tidak produktif. Bagi saya, konsep Terapi Keluarga ini sungguh mengingatkan saya (dan mungkin kita semua), tentang bagaimana sebenarnya situasi terkini dari kualitas interaksi di dalam keluarga saya (dan juga keluarga kita semua). Sungguh produktif dan mantapkah kualitas interaksi keluarga kita? Bila belum, usaha-usaha apa yang telah kita lakukan dan mungkin harus kita lakukan untuk memperbaiki kualitas interaksi di dalam keluarga kita? Kitalah yang tahu!

Hari ini, mulai dari siang sampai sore saya menghadiri dua undangan perkawinan, lalu dari sore sampai malam, saya menghadiri sebuah seminar tentang "Pencatatan Perkawinan dan Kelahiran". Bermula dari mata lalu turunlah ke hati, maka terjadilah perjumpaan dua insan, asam di gunung ikan dilaut bertemu di dalam belanga, yang kemudian bersepakat mengarungi segara kehidupan, diatas bahtera yang direstui menurut hukum agama masing-masing, bahtera yang berlayar setelah mendapat izin dari otoritas kelautan setempat, hehe..
Bahtera itu mulai berlayar, mungkin sering diterpa ombak-ombak kecil atau bahkan tak jarang badai datang menerjang...tetapi bahtera itu harus terus maju...arah angin memang tak bisa diubah dan diatur...tetapi tentu arah layar dapat dikondisikan oleh para awak bahtera tentunya. Pertanyaan tegasnya, sudahkah kita mengikat janji atau ijab kabul perkawinan dengan kehendak bebas dan berlangsung dalam ritus agama kita secara sah dan sudahkah perkawinan ini tercatat secara sipil menurut ketentuan di Republik tercinta? Sudahkah anak-anak yang dititipkan Tuhan pada kita juga mendapatkan perlindungan hak-hak perdatanya karena memiliki akta kelahiran? Kitalah yang tahu!   

Sahabat….kita semua memang berangkat dari keluarga...maka ingatlah selalu, bahwa apapun situasi dan pola hidup-pola asuh-pola tingkah keluarga kita masing-masing, akan menentukan siapakah kita dan bagaimana cara kita berpikir, cara kita merasa, cara kita bertindak dan memberi respon, dalam situasi-tempat apapun dan dengan siapapun. Disisi lain, keluarga juga dapat menjadi obat mujarab untuk berbagai penyakit kehidupan, termasuk kesesakan, keresahan dan kegalauan. Keluarga memang memiliki berbagai dimensi.....agama, sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, biologis, psikologis dll....yang sungguh perlu perhatian dan kerja keras... agar semuanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan optimal menuju ke tepian nan cerah. Bila ini terjadi, maka tersenyumlah Sang Pemilik Kehidupan ini.

Sahabat....selamat menemukan, membangun dan mengembangkan keluarga kita masing-masing, dengan berbagai dimensi dan dinamikanya. Selamat berkeluarga….!
Salam Joss....