Seorang filsuf besar, Albert Camus, pernah mengatakan bahwa “segala sesuatu di dunia ini bersifat pilihan”.
Setiap waktu dalam hidup, kita banyak dihadapkan dengan berbagai pilihan. Dalam pengalaman saya, keindahan perjalanan hidup juga setidaknya ditentukan dari proses pengolahan diri dalam menentukan setiap pilihan.
Minggu – minggu terakhir ini, setiap orangtua yang memiliki anak sekolah yang duduk di kelas akhir dari berbagai jenjang (SD, SMP dan SMA/SMK), mulai sibuk, repot dan harap-harap cemas dengan hasil UN anaknya. Dan sore hari ini (08/06) pukul 15.00 WIB, saya juga harus menghadiri undangan pengumuman kelulusan UN SD dari putri sulung saya, Joice. Para orangtua yang anaknya tamat SD, SMP ataupun SMA/SMK, tidak sedikit barangkali yang sudah sibuk kesana-kemari, kasak-kusuk bertanya tentang sekolah atau program studi atau jurusan apa yang akan dipilih oleh sang anak atau dipilihkan oleh orangtuanya sendiri. Di situasi ini, mungkin ada juga orangtua yang mungkin santai saja, tenang saja, biasa saja karena berbagai sebab, tidak tahu, tidak mau tahu, atau tidak tahu kalau tidak tahu. Apapun sikap atau pilihan yang diperankan para orangtua, tentu saja itu berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam dirinya.
Harian Kompas, hari ini pada kolom karier-nya mengangkat tema Keputusan Bijaksana. Pada bagian terakhir dari tulisan itu, dikemukakan konsep “Situation Awareness” atau kesadaran atas situasi yang kita hadapi, dapat menjadi landasan bagi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Situation awareness terdiri atas tiga tahap. Pertama adalah persepsi terhadap lingkungan untuk dicerna dan disimpan dalam ingatan. Kedua, menerjemahkan situasi dengan memberi arti dan sense pada hal-hal yang terlihat tersebut dengan kemampuan analisis yang tajam. Ketiga, melakukan proyeksi pada hal-hal yang terjadi di masa mendatang sehingga kita bisa me’radar’ masa depan dengan penglihatan yang jelas. Kata kuncinya adalah kesadaran. Setiap keputusan diambil berdasarkan kesadaran kita pada situasi, berawal dari rekaman persepsi kita pada sebuah situasi atau lingkungan yang mengandung makna tertentu kemudian berdasarkan makna itu kita menggambarkan situasi masa depan yang mungkin terjadi. Sebuah konsep pengambilan keputusan yang bergerak dari kekinian persepsi dan makna pada suatu situasi yang sedang dihadapi.
Transformasi Berpikir
Berbicara tentang pengambilan keputusan, Bill Gould dalam bukunya “Transformational Thingking” menjelaskan tentang bagaimana sebuah keputusan dibuat, dengan menggunakan metafora yang menarik sekali. Sebuah keputusan adalah seperti sebuah kerikil yang kita lempar ke sebuah kolam yang tenang. Riak yang bergerak dari tengah dan merambat 360ยบ adalah efek keputusan kita. Saat mengalir ke arah luar, riak-riak itu menyentuh apa pun yang ada dijalannya. Riak-riak dari keputusan itu mempengaruhi siapapun disekitar kita secara langsung atau tidak langsung. Pertanyaan yang muncul, apa yang terjadi saat riak-riak itu menyentuh objek-objek atau bagian yang jauh? Riak-riak itu langsung berbalik arah dan kembali ke sumbernya. Inilah bagian yang biasanya kita lupakan, sementara di sisi lain kita tahu dan selalu percaya bahwa ‘kita selalu menuai apa yang kita tabur’ atau ‘kita selalu menerima apa yang telah kita beri’. Oleh karenanya, Gould lalu menawarkan 3 langkah pengambilan keputusan sebagai berikut :
- Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari sebanyak mungkin sumber yang bisa kita lakukan, lalu
- Mempertimbangkan informasi itu tanpa penilaian dan emosi, serta
- Akhirnya membuat keputusan berdasarkan informasi itu.
Dengan 3 langkah ini, Gould menegaskan bahwa kita jauh lebih mungkin membuat keputusan yang lebih baik dan dengan itu meningkatkan realitas kita serta orang-orang disekitar kita. Betapa tidak, dalam situasi sekarang kita cenderung mengambil keputusan secara tradisional, dengan selalu membuang sebagian besar waktu, energy dan usaha kita untuk menjustifikasi, membela, atau mengembangkan kesimpulan yang kita dapatkan, jarang mempertimbangkan hal lain kecuali seseorang menaikkan tanda pengumuman atau memukul kepala kita untuk mendapatkan perhatian. Kita sering sekali membuat keputusan mengenai bagaimana kita menghadapi keputusan pada akibat pertama, atau momen ketika kejadian itu pertama kali terjadi. Akibatnya adalah begitu kita telah menentukan pendapat kita terhadap sesuatu, akan kecil kemungkinan bagi kita untuk mengubahnya dan mungkin kita kan berusaha membelanya mati-matian daripada mengadaptasi pendekatan kita menurut bukti baru apapun yang dihadapkan pada kita.
Pesan penting Gould tentang ini adalah, bahwa ketika kita menerima menghadapi sebuah situasi, maka kita harus bekerja keras untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber tentang situasi tersebut, menganalisisnya dengan tidak melibatkan emosi dan perasaan kita, barulah kita mengambil apapun keputusan yang tepat sesuai dengan situasi itu. Waktu yang cukup saat kita menggali informasi barangkali dapat meredam emosi kita terhadap situasi yang kita alami, juga tentu dapat memberi kita pilihan berbeda dari yang pernah terpikirkan.
Dengan konsep Gould ini, pengambilan keputusan melanjutkan sekolah ke sekolah mana misalnya, dapat kita peta-kan sebagai berikut :
Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dari sebanyak mungkin sumber yang bisa kita lakukan.
Orangtua dan atau anak harus mencari informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber tentang sekolah yang mau ditujuh. Mungkin orangtua punya beberapa alternatif. Dari beberapa alternatif sekolah tujuan inilah, digali informasi-informasi dari berbagai sumber. Sumber primernya adalah langsung ke sekolah sasaran dan mencari informasi dari pihak sekolah tersebut. Sumber sekundernya dapat diperoleh dari orangtua yang anaknya sedang atau pernah bersekolah di sekolah alternatif tadi. Informasi tersebut antara lain meliputi : status sekolah (kalau swasta), kompetensi guru, biaya sekolah dan biaya-biaya lain, jumlah siswa maksimal per kelas, fasilitas, kegiatan ekstrakurikuler, keunggulan-keunggulan sekolah, dan sebagainya.
Mempertimbangkan informasi itu tanpa penilaian dan emosi.
Setelah berbagai informasi dari berbagai sumber kita peroleh, maka semua informasi tersebut disusun dalam kaidah atau pola tertentu, dapat dibuat dalam sebuah tabel, hal mana kita dari sana kita dapat membaca kelebihan dan kelemahan masing-masing sekolah tersebut. Dalam menyusun dan menganalis data tersebut, hindari penilaian-penilaian subjektif dan. tidak menyertakan emosi. Artinya data-data tersebut dianalisis secara objektif, berdasarkan apa adanya data tersebut terbaca.
Akhirnya membuat keputusan berdasarkan informasi itu.
Setelah data dianalisis, ditimbang-timbang, lalu ambil keputusan berdasarkan kesimpulan dari analisis kita.
Sepintas lalu, mungkin terlalu ribet, repot atau rumit. Tetapi tentunya tidak salah bila kita mulai mencoba melakukan ini. Mungkin ada yang beranggapan bahwa memilih sekolah bagi sang anak adalah hal yang kecil, tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Tetapi percayalah kawan, ketika kita terbiasa mengambil keputusan secara cerdas dengan terlebih dahulu mengumpulkan data dan menganalisa data dan informasi terkaita dengan sebuah keputusan, maka pada masa-masa mendatang kehidupan dan cara berpikir kita akan mengalami transformasi dan berujung pada kemudahan yang kita temukan kala menghadapi sebuah situasi pengambilan keputusan sebesar apapun konteksnya.
Diplomasi Diam atau Nol Respon
Dalam konteks lain pada kehidupan kita, tidak jarang sebuah situasi yang membutuhkan pengambilan keputusan kadang dilalui tanpa keputusan apa-apa, yang justru bagi saya dalam arti tertentu, situasi tanpa keputusan itu adalah juga sebuah keputusan. Jumat kemarin saya berdiskusi secara online dengan seorang sahabat di negeri Kanguru. Tema diskusi kami adalah “diplomasi diam”, demikian istilah kawan saya. Diplomasi diam disini lebih dimaknai sebagai sebuah situasi tanpa respon atau dalam konsep yang pernah saya tawarkan kepada “sepasang suami istri bermasalah” dengan istilah “nol respon”. Gambarannya begini, kadang-kadang kita memerlukan “diplomasi diam” atau “nol respon” terhadap stimulus tertentu yang datang dalam kehidupan kita di suatu masa. Pada contoh saya, adalah sepasang suami istri yang menghadapi krisis rumah tangga yang sudah parah. Berbagai jalan sudah ditempuh, berbagai pihak sudah dilibatkan – langsung, maupun tidak langsung, tetapi tetap saja “mereka bermasalah”. Bertahun-tahun mereka hidup dalam perdebatan-pertengkaran-peperangan bahkan beberapa kali hendak melakukan upaya perceraian. Setiap masukan atau konklusi dari saya, hanya di-iya-kan di depan saya, tetapi tidak pernah dipraktekkan atau kalaupun dipraktekkan hanya dengan setengah hati. Situasi ini berlangsung cukup lama, beberapa tahun malah. Sebagai manusia, saya juga sudah lelah menghadapi mereka dan mereka juga sudah lelah bertengkar secara fisik walau semangat bertengkarnya tetap ada kelihatannya. Pokoknya pantang dipancing sikitlah, kata orang Medan. Bila satu pihak melakukan satu hal kecil saja yang tidak sesuai dengan kehendak pihak yang lain, maka pihak yang lain tersebut akan melahirkan respon yang sangat agresif bahkan cenderung destruktif. Dalam situasi inilah, akhirnya saya menawarkan gencatan senjata dengan konsep ‘nol respon’. Siapa melakukan apapun, dimanapun dan dengan siapapun, pihak yang lain tidak boleh memberi respon sekecil apapun. Agak ekstrim memang konklusi ini. Tapi barangkali cocok dengan orang-orang yang memiliki mindset dan perilaku ekstrim seperti mereka. Bagi saya, ‘diplomasi diam’ atau ‘nol respon’ juga merupakan sebuah cara mengambil keputusan.
Pada kasus yang lain, adalah seorang kawan yang selalu memainkan “diplomasi diam”. Separah apapun situasi yang dialami oleh lembaga yang pimpinnya, saat para anak buah sudah menjerit-jerit, mungkin ada yang mulai menangis sebab barangkali alamatlah kapal akan tenggelam, dia di singgasananya sana tetap aja slow, tenang dan diam atau mungkin senyam-senyum. Diplomasi diam cenderung dilakoni orang-orang dengan tipe kinestetik, orang-orang perasa. Diplomasi diam pada situasi tertentu mungkin efektif, perlu renungan dan refleksi mendalam untuk sebuah langkah atau keputusan, akan tetapi pada situasi dimana anak buah butuh bimbingan, arahan dan penegasan, diplomasi diam justru membahayakan organisasi, seperti yang akhirnya di alami kawan saya tersebut.
Neurosains dan Pengambilan Keputusan.
Dr. Taufik Pasiak dalam bukunya, “Tuhan Dalam Otak Manusia” mengatakan bahwa kemampuan mengambil keputusan merupakan fungsi penting otak manusia didasarkan pada studi pada orang-orang yang mengalami cedera otak di daerah cortex prefrontalis ventromedialis (CPFVM). Bagian otak yang terletak persis dibelakang hidung ini diketahui berperan penting dalam pengambilan keputusan. Bagian ini mengelola hal-hal yang bisa terjadi pada masa mendatang, meskipun belum pasti, serta hubungan diantara semua hal tersebut dan memilah-milah informasi yang banyak untuk ditandai sebagai hal yang membutuhkan perhatian. Mereka yang cedera CPFVM merupakan orang-orang yang rasional. Mereka bisa pintar dan sangat terampil, tetapi tidak cerdas membuat keputusan. Lebih lanjut Pasiak mengatakan, bahwa mengambil keputusan memiliki dasar evolusi yang kuat. Manusia memiliki ‘komputer’ bawah sadar yang dapat mengarahkannya untuk dapat mengambil keputusan secara cepat. Intuisi ataupun suara hati, menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan yang cepat. Misalnya ketika kita berada ditengah jalan, dan melihat sebuah mobil melaju cepat ke arah kita, maka kita tidak membutuhkan alur pikir analitis untuk menilai apakah mobil tersebut akan tepat menabrak kita, apakah mungkin kita dapat menghindar, atau apakah kecepatan mobil tersebut dapat menghancurkan atau sekedar melecetkan tubuh kita. Jika menghadapi situasi ini dan otak kita berpikir secara analitis, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi. Menghadapi situasi dimana kita harus mengambil sebuah keputusan, otak menyediakan komponen fungsional yang oleh Malcom Gladwell disebut adaptive unconscious. Komponen fungsional ini membimbing kita untuk mengambil keputusan secara cepat yang membuat kita terhindar dari bahaya. Dalam adaptive unconscious ini tersimpan pengalaman masa lalu kita, yang berhubungan dengan sebuah stimulus tertentu, misalnya mobil yang melaju kencang tadi. Pengambilan keputusan adalah fungsi eksekutif dari otak yang terbilang canggih pada manusia dan menjadi unggulan manusia dibandingkan dengan segenap makhluk lainnya.
Dari uraian diatas, maka tatkala langkah transformatif-nya Gould kita baca dalam kaca mata neurosains, akan terlihat menjadi lebih pas. Sederhananya kira-kira begiini. Saat kita mengumpulkan berbagai informasi, mengolah dan menganalisanya, maka secara faal proses yang terjadi adalah kita mengirim informasi-informasi tersebut ke otak, yang akan melalui bermiliaran neuron (sel khusus otak) yang terkoneksi satu sama lain, ketika kita butuh sebuah keputusan, informasi tersebut kemudian masuk pada area tertentu di otak, CPFVM, lalu berakumulasi dengan berbagai informasi terkait lainnya yang sudah ada disana terlebih dahulu, kemudian lahirlah sebuah keputusan. Proses pengambilan keputusan tidak saja sebuah proses yang secara visual bisa kita amati dalam sebuah tindakan (konatif) tetapi terlebih dahulu diawali dengan sebuah proses kognitif di otak kita. Dalam arti tertentu, bisa dikatakan bahwa ketika kita membiasakan diri melakukan pengambilan keputusan dengan melibatkan aspek kognitif kita, misalnya dengan menerapkan konsep Gould, maka sebenarnya kita juga sedang membiasakan otak kita untuk bekerja, kita juga sedang mengaktifkan koneksitas jaringan-jaringan otak yang kemudian dapat membentuk synaps (jaringan yang terbentuk antar neuron setiap sebuah informasi lewat) baru, yang menurut para ahli neurologi memiliki kontribusi dalam peningkatan kinerja otak!
Epilog
Sahabat, kayaknya catatan ini sudah mulai panjang dan sebelum menjadi kepanjangan, saya hanya mau berpesan, dalam situasi apapun yang kita hadapi dimana kita harus mengambil sebuah keputusan, ambillah keputusan itu secara cerdas. Ada banyak cara cerdas mengambil keputusan, tetapi kebetulan disini saya hanya menawarkan konsep Gould, yang sebenarnya sangat sederhana atau mungkin sering kita lakukan secara tidak sadar atau tanpa tahu konsepnya secara optimal, yang juga selaras atau beda-beda tipis dengan konsep”Situation Awareness” atau konsep kesadaran atas situasi yang kita hadapi, yang dapat menjadi landasan bagi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Atau bisa juga menggunakan konsep "Diplomasi Diam" atau "Nol Respon". Lepas dari semua itu, yang penting diingat, adalah baik sekali bila sebuah keputusan diambil berdasarkan proses kognitif sebagaimana uraian diatas, bukan karena hasutan, rayuan, bujukan, bisikan atau pun intrik-intrik tertentu dengan kepentingan-kepentingan terselubung. Akhirnya, selamat mengambil keputusan dalam hidupmu! Semoga catatan kecil ini bermanfaat. Salam Joss…