SELAMAT DATANG

Terima Kasih dan Selamat Datang di Bung Joss.

Ini adalah media pembelajar. Anda bisa belajar dan sekaligus anda juga bisa mengajar.

Itulah esensi sebuah semangat berbagi yang coba saya kembangkan di blog ini.

Akhirnya, semoga blog ini berarti bagi anda dan saya. Terima kasih.

Salam Joss....

29 Mei, 2013

KEBANGKITAN NASIONAL, SI GALE-GALE, AKLIMATISASI DAN KEBANGKITAN DIRI

http://commons.wikimedia.org/wiki
Hari ini, 105 tahun sejak berdirinya Boedi Oetomo oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), Boedi Utomo sebagai sebuah organisasi memang tidak ada lagi. Tetapi tanggal berdirinya Boedi Utomo telah ditetapkan pemerintah sebagai hari kebangkitan nasional, betapa tidak karena Boedi Uetomo kemudian menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam pelajaran sejarah, kita tahu bahwa pada awalnya Boedi Oetomo bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, tetapi sejak 1915 mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan politik, bahkan terakhir bergabung dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang digagas Bung Karno dan kemudian bergabung lagi dengan Persatuan Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya. Akhirnya sampai sekarang, setiap tanggal 20 Mei kita selalu memperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pagi ini sebelum berangkat kerja, saya sempat menyaksikan sebuah saluran televisi swasta nasional menayangkan sebuah event yang digelar Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Medan, yaitu Gale-Gale Pong. Pagelaran ini dieksekusi dalam rangka peringatan Hari Kebangkitan Nasional, dengan melibatkan mahasiswa dari kampus-kampus lain seperti Universitas Sriwijaya dan Universitas Andalas. Pertanyaannya, kenapa harus Gale-Gale Pong? Menurut penjelasan Panitia ketika diwawancara reporter televisi tersebut, dalam bahasa saya, pagelaran ini bermaksud untuk mengajak mahasiswa dan masyarakat secara umum untuk ikut melestarikan budaya Batak, salah satunya Tarian (Tortor) Si Gale – Gale ditengah meningkatnya suhu animo kalangan muda terhadap berbagai tarian dari luar seperti Gangnam Style dan Harlem Shake. Masyarakat tetap dapat menikmati tarian ‘sebrang’ tersebut tetapi juga sekaligus diingatkan bahwa kita juga punya tarian yang perlu dilestarikan. Secara konsep, Gale-Gale Pong dipadu dengan Gangnam Style dan Harlem Shake atau tarian modern lainnya, dengan iringan musik yang khusus diaransemen untuk itu. Tentunya ini menjadi sebuah performance seni tari dan musik yang layak diapresiasi.  Sejenak kita tilik, sebenarnya apa sich Tarian Si Gale-Gale? Secara pribadi, pertama kali saya menyaksikan Tarian Si Gale-Gale di Tomok pada tahun 2000. Dan itu menjadi satu-satunya kesempatan saya menyaksikan secara langsung tarian traidisional Batak Toba ini, sampai pada Oktober 2012, ketika saya dan rombongan melakukan perjalanan menghadiri Indonesian Youth Day di Sanggau – Kalimantan Barat, memenuhi amanat panitia bahwa setiap kontingen wajib membawa ‘segala hal’ yang mencirikan budaya asal masing-masing kontingen yang akan dipamerkan atau akan dipertunjukkan, maka Kontingen Medan membawa 2 set Patung Si Gale-Gale (lengkap dengan penarinya). Mulai dari Parade Budaya di kantor Bupati Sanggau, Tarian Si Gale-Gale sudah kami pertunjukkan, pada malam puncak acara Tarian Si Gale-Gale juga dipadukan dengan Tarian Cawan, selalu mendapat sambutan yang luar biasa antusiasnya dari para penonton. Bahkan tidak sedikit yang berfoto bersama dengan patung/penari Si Gale-Gale ketika dipajang distand pameran Medan. Tarian Si Gale-Gale sungguh sangat menarik karena ekstotik dan menghibur.

Menurut Thompson HS – pimpinan PLOT (Pusat Latihan Opera Batak) dalam Inside Sumatera, tarian ini sangat menghibur karena sebuah boneka yang terbuat dari kayu dapat menari seperti manusia. Kelihatannya memang seperti manusia jika semakin diperhatikan. Boneka yang tingginya mencapai satu setengah meter tersebut diberi kostum tradisonal Batak. Bahkan semua gerak-geriknya yang muncul selama pertunjukan menciptakan kesan-kesan dari contoh model manusia. Kepalanya bisa diputar ke samping kanan dan kiri, mata dan lidahnya dapat bergerak, kedua tangan bergerak seperti tangan-tangan manusia yang menari serta dapat menurunkan badannya lebih rendah seperti jongkok waktu menari. Asal muasal tarian ini bermula dari seorang raja yang kaya bernama Tuan Rahat. Ia mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Manggale. Anaknya tersebut diharapkan segera mendapat jodoh. Namun setiap perempuan yang disukainya selalu tak mau mendampinginya. Suatu ketika, sang raja turut mengirim anaknya berperang dalam rangka meluaskan wilayah kerajaan. Anak itu ternyata mangkat pula di medan perang. Untuk mengenang anaknya, sang raja memesan sebuah patung dibuatkan mirip sang anak, dan sehidup mungkin. Patung tersebut kemudian dinamainya Si Gale-Gale. Namun sang raja memesankan agar patung tersebut ditempatkan saja agak jauh dari rumah, yakni di sopo balian. Nanti, pada saat upacara kematiannya, patung itu dapat dijemput untuk menari di samping jenazahnya. Jadi pertunjukan Sigale-gale dulunya diadakan hanya kepada seorang raja yang kehilangan keturunan. Tapi kemudian, kebiasaan raja itu diperluas kepada setiap orang yang tidak punya keturunan. Setiap orang yang sengaja memesankan patung Sigale-gale untuk alasan itu disebut dengan papurpur sapata (menaburkan janji). Ketika kematian sudah tak terelakkan, Si Gale-Gale dengan tariannya menjadi semacam pengobat impian yang pernah kandas bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan sampai pada upacara kematiannya.

Dalam benak saya, moment kebangkitan nasional yang diperingati dengan pagelaran Tarian Si Gale-Gale, ini sungguh menjadi sebuah refleksi yang baik. Betapa tidak, 68 tahun sudah umur sebuah negeri bernama Indonesia, tetapi belum semua lini kehidupan di negeri ini bangkit atau terbangkitan dari keterpurukan. Pendidikan dan kesejahteraan rakyat yang adil dan merata, masih menjadi sesuatu yang mahal juga langka di negeri ini. Mirip-mirip dengan Si Gale-Gale yang barangkali sudah banyak dilupakan orang. Mudah-mudahan, kita sebagai warga negeri ini, tidak sedang menyiapkan patung si Gale-Gale untuk sebuah pementasan ratapan kehilangan di masa depan. Lalu saya sendiri yang juga sudah 38 tahun menghirup napas kehidupan, masih tetap harus berjuang, demi kau dan si buah hati, seperti judul sebuah lagu pop. Sahabat, rupanya dalam perjuangan hidup ini, jatuh bangun, memang harus dirasakan dan dinikmati. Persoalannya bukan pada saat kita jatuh, dengan siapa kita jatuh atau dilubang mana kita jatuh atau dijatuhkan, tetapi persoalan sesungguhnya adalah bagaimana kita bangkit dari kejatuhan dan bergegas mengatur napas serta menata langkah demi 'puncak gunung kehidupan' apapun yang akan kita daki. Bagaimana kita tahu apa yang ada di puncak gunung itu, bagaimana kita dapat merasakan kesegaran udara di sebuah puncak gunung, bagaimana kita bisa memanjakan mata kita dengan keindahan panorama alam dari sebuah puncak gunung, kalau kita tidak pernah melangkahkan kaki mendaki gunung itu atau kalau kita hanya mengeluh tentang sakitnya kaki kita ketika terjatuh disebuah lereng? 

Berbicara tentang naik gunung (dalam arti yang sesungguhnya), saya jadi teringat tentang satu kata, 'aklimatisasi'. Aklimatisasi merupakan sebuah usaha yang dilakukan organisme hidup untuk melakukan sebuah penyesuaian fisiologis terhadap suatu tempat atau lingkungan baru. Saat mendaki gunung, salah dua kondisi yang perlu disesuaikan adalah, penyesuaian suhu tubuh terhadap suhu lingkungan gunung tersebut dan penyesuaian kadar oksigen. Hal ini biasanya dilakukan apabila seseorang ingin melakukan pendakian pada gunung yang memiliki puncak yang cukup tinggi, hingga ribuan meter di atas permukaan laut. Secara sederhana kira-kira begini. Misalnya kita ingin naik ke puncak gunung dengan ketinggian 3000 meter dari permukaan laut, maka saat kita berada di ketinggian 1000 m, kita naik menuju ketinggian 2000 m, lalu turun ke 1500 meter dan istirahat. Setelah itu kita naik ke 2500 meter, lalu turun ke 2000 meter, begitulah seterusnya sampai kita tiba dipuncak gunung berapapun tingginya. Kalau digambarkan, gerakan naik-turun-naik-turun dan naik tersebut kurang lebih seperti sebuah gerakan berayun.

Tapi catatan ini tidak akan membahas secara teknis bagaimana proses itu terjadi, tetapi catatan ini hendak mengingatkan (minimal mengingatkan saya), betapa saat kita ‘jatuh disebuah lereng kehidupan’, barangkali saat itu kita sedang ‘aklimatisasi’. Tahun 2006 ketika saya harus menguburkan mimpi-mimpi saya bersama sebuah event organizer yang saya dirikan bersama teman-teman, saya melakukan aklimatisasi, mundur sejenak, lalu saya mengambil keputusan untuk belajar psikologi dan akhirnya selesai di tahun 2011, kemudian saya melangkah dan melangkah lagi sampai kini. Maka, ketika hal ini juga engkau alami sahabat, ‘turunlah’ sejenak, refleksi dan berbenah diri, lalu mulai ‘naik’ lagi sebab ‘puncak gunung kehidupan pribadi’ hanya bisa kita daki kala kita tetap fokus, setia dan teguh pada misi perjalanan kita, apapun yang terjadi…saat jatuh, bangkitlah segera dan lanjutkan perjalanan. Saya kira para sahabat sepakat dengan saya, kita juga tidak ingin membuat patung si Gale-Gale hanya untuk meratapi sebuah ‘kehilangan’ yang tidak perlu, karena bagi saya apapun kehilangan yang saya alami, sesungguhnya sayalah yang mengijinkan kehilangan itu harus saya alami. Sekarang, bangkitlah dari kejatuhanmu, tarik napas dalam dan lembut, benahi diri, lalu kembali fokus dan melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda.

Ini hanyalah sebuah catatan di Hari Kebangkitan Nasional, tidak perlu diingat, sebab ini hanyalah sebuah refleksi pribadi yang dibagi secara gratis dan semoga bermanfaat, atau paling tidak menginspirasi dalam Kebangkitan Dirimu. Salam Joss….


"SELAMAT HARI KEBANGKITAN NASIONAL"

(Catatan ini dibuat dan diposting facebook tgl. 20 Mei 2013)

HATI-HATI DENGAN FOBIA BALON

Beberapa waktu lalu, dalam dua gelombang pelatihan kepemimpinan yang kami fasilitasi, saat membawa materi 'Motivasi’, saya dan tim mengajak peserta untuk memainkan sebuah permainan meniup balon. Secara singkat gambaran prosedurnya begini : 1) Kepada semua peserta diberikan sebuah balon yang kempes dan masih baru tentunya; 2)Masing-masing peserta meniup balon tersebut sebesar-besarnya, bahkan sampai meletus. Biasanya ada peserta yang takut, maka fasilitator harus memotivasi supaya semua peserta mau  melakukannya dan membantu peserta untuk memecahkan balonnya. Seorang teman dari Palembang, Mas Agustinus Susanta, menambahkan catatan khusus untuk permainan ini, khususnya untuk mengurangi resiko kecelakaan, 1)disarankan saat meniup balon, posisi tangan melindungi bibir peniup, 2)posisi balon dijauhkan dari telinga peserta lain (jika niupnya rame-rame).

Dari proses ini, sebagian besar peserta berhasil meniup balon sampai pecah, sesuai petunjuknya yaitu meniup balon sebesar-sebesar dan harus sampai pecah. Maka terdengarlah bunyi letusan balon yang memenuhi seluruh ruangan. Tetapi ada juga peserta yang tidak bisa meniup balon sampai pecah. Ini terjadi karena peserta takut meniup balon. Bahkan ada yang sampai menangis dan terlihat sekali ketakutan menyelimuti seluruh dirinya, dan ada yang tidak mau memegang bahkan melihat balon. Bagi mereka yang sungguh-sungguh ketakutan ini, kami tidak memaksakan mereka harus meniup balon tersebut. Setelah semua balon peserta pecah, kecuali beberapa orang yang ketakutan tersebut, proses dilanjutkan dengan refleksi. Kepada peserta diajukan beberapa pertanyaan :
  1. Mengapa ada orang yang merasa senang/takut/sangat takut di saat melaksanakan permintaan fasilitator untuk meniup balon sampai pecah?
  2. Bagaimana perasaan anda di saat ada teman yang sudah berhasil meniup balonnya sampai pecah, sementara anda belum berhasil?
  3. Bagaimana perasaan anda setelah mampu meniup balon tersebut sampai pecah?
  4. Apa makna dari  permainan tersebut?
Sekarang coba kita lihat prosesnya. Saat kami membagi balon kepada para peserta, secara umum para peserta merasa geli, lucu dan ada yang tersenyum, ada juga yang mulai tertawa. Situasi sontak berubah, disaat kami meminta para peserta meniup balon-balon tersebut sampai pecah. Di dalam pikiran para peserta, mulailah bermunculan bayangan-bayangan yang kurang menyenangkan mulai dari kekurangmampuan meniup sampai suara letusan balon atau kemungkinan pecahan balon yang mengenai wajah. Secara umum, ketakutan yang dihadapi oleh kebanyakan orang ternyata menjadi sesuatu yang subjektif. Banyak orang yang pikirannya sudah dipengaruhi oleh hal-hal yang buruk di dunia ini. Sejak bangun pagi kita sudah disuguhi dengan berbagai informasi yang menegangkan atau menakutkan dan membuat bulu kuduk kita berdiri. Pelajaran dari permainan ini penting diketahui, bahwa ketakutan itu tidak selamanya menakutkan. Jika setiap orang sadar akan hal itu, hidupnya akan menjadi termotivasi, akan menjadi lebih tenang, dan kenyamanan batin dapat dinikmati. Jika motivasi lebih kuat dari ketakutan, maka seseorang dapat menghadapi masalah dengan tenang dan pikiran jernih. Banyak ketakutan kita yang jauh dari realitas hidup. Jika demikian, apakah Anda akan tetap hidup dalam ketakutan?

Permainan ini memang berhasil dieksekusi dengan baik dan kemudian proses refleksinya juga baik adanya. Akan tetapi, ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu para peserta yang belum berhasil meniup balon tersebut sampai pecah. Bila ketakutan mereka hanyalah sekedar ‘ketakutan biasa’, yaitu takut dengan suara balon meletus yang keras atau takut pada pecahan balon yang akan mengenai wajahnya, setelah kita beri motivasi, kita ulangi petunjuk menghindari resiko bahkan kita beri contoh meniup balon sampai pecah secara benar, mereka akan berhasil melakukannya. Masalahnya – dan ini yang paling penting, setelah ditelusuri, rupanya para peserta yang tidak berhasil meniup balon sampai pecah tersebut memiliki ‘pengalaman tertentu’ di masa lalu dalam hidupnya yang berkaitan atau berhubungan dengan balon yang kemudian menimbulkan ketakutan bahkan fobia balon. Kepada peserta tersebut kami lalu memanggil mereka secara khusus dan memberi penanganan khusus juga. Atas kesediaan mereka, beberapa diantaranya diterapi dengan pendekatan hipnoterapi dan berhasil. Setelah proses terapi selesai, kepadanya diberikan balon lalu diminta melanjutkan tugasnya yang belum selesai dan mereka berhasil. Yang tadinya takut memegang bahkan melihat balon, jadi berani melihat, memegang dan bahkan meniup balon sampai pecah.

Pesan penting bagi para fasilitator dinamika kelompok dan sejenisnya, hati-hatilah dalam memandu permainan meniup balon sampai pecah, kecuali anda memiliki kemampuan mengatasi persoalan klinik trauma ataupun fobia balon. Bagi anda yang masih takut, trauma ataupun fobia pada balon dan fobia apa saja, silahkan hubungi Bung Joss. Semoga catatan kecil ini bermanfaat. Salam Joss….